Jumat, 30 Agustus 2013

Masih di Pacitan : Laut Sidomulyo

Karena JLS, potensi alam yang terselubung akhirnya terbuka lebar. Indahnya pantai tidak hanya bisa dinikmati oleh penduduk sekitar dikarenakan medan tempuh yang sulit, sekarang seluruh dunia pun bisa menikmatinya hehe. Tak heran JLS menjadi semacam obyek wisata baru bagi warga asli maupun pendatang. Lebaran ini banyak mobil berplat luar Pacitan yang mencoba JLS dan berfoto-foto ria di sana. Banyak laut yang dilewati jalur JLS ini diantaranya Laut Wawaran, Sidomulyo, Pidakan, Tawang-taman  dan Bawur. Karena kami tidak memiliki banyak waktu maka hanya Laut Sidomulyo yang sempat kami kunjungi. Masuk kawasan Laut Sidomulyo belum ada kewajiban membayar alias tiket masuk hanya saja ada kotak sumbangan yang dipergunakan untuk kebersihan yang disediakan sewaktu kita keluar dari kawasan ini. Laut ini asli masih asli hehe. Ada fasilitas toilet yang saya sendiri belum sempat mengintip karena asyik berlarian ke pasir putihnya.


Ini adalah beberapa hasil jepretan di Laut Sidomulyo
laut sidomulyo yang masih asli

pengunjung yang hanya beberapa gelintir

mengejar Sang

menantang ombak

Masih di Pacitan : JLS (Jalur Lintas Selatan)

Secara singkat, JLS merupakan jalur di selatan Pacitan yang melingkupi Kecamatan Pacitan-Kebonagung-Tulakan-Ngadirojo dan Sudimoro. Rencananya jalur ini akan menghubungkan antara Pacitan dan Panggul (Trenggalek). Uniknya jalur ini membelah gunung dan melewati lautan. JLS ini adalah satu-satunya alasan kenapa banyak gunung bercerai (gunung pegat) di Pacitan. Jadi bisa dibayangkan jika jalur ini sudah jadi dan digunakan ‘seutuhnya’ maka niscaya perjalanan yang ditempuh akan luar biasa indah (tanjakan, turunan, jalan berkelok, membelah gunung,  dan laut di sepanjang jalan).

Desa kelahiranku di Kec. Sidomulyo adalah salah satu desa yang dilewati jalur JLS. Menuju ke desa kelahiranku tidak sesusah jaman dulu, sekarang tinggal wusssssssss. Sungguh brilian pemikirian penggagas JLS ini semoga dampak sosial pembangunan JLS ini nantinya tidak merusak Pacitan(ku) #keluar konteks :D

Ini adalah beberapa foto hasil jepretan kilat Om Bahrur dan Om Fakhri sepanjang JLS.

sunrise di JLS

jembatan Gayam

dulu gak ngebayangin ada jalan kaya begini di desaku

jalan yang membelah gunung

gunung yang bercerai

pagi yang sempurna

dulunya hutan

kaliwaru sekarang

kaliwaru setahun yang lalu

kaliwaru setahun yang lalu
kaliwaru setahun yang lalu
suramadu-nya Pacitan

Kamis, 29 Agustus 2013

Masih di Pacitan ; Eksotisme Goa Gong

Kenapa disebut Goa Gong? Karena menurut cerita dari dalam Goa ini sering terdengar bunyi-bunyian yang menyerupai gong.
Goa Gong terletak di Desa Bomo-Kec. Punung. Kurang lebih sekitar 30 km yang harus kami tempuh dari Kota Pacitan. Setelah melewati beberapa tanjakan dan turunan nan syahdu serta beberapa titik jalan yang kerusakan ringan, sampailah kami di sebuah pelataran yang digunakan sebagai tempat parkir. Pedagang pun membuka kios-kios yang mengelilingi lahan parkir ini.

Di salah satu sudut terdapat loket pembelian tiket. Loket ini hanyalah sebuah meja dengan kursi yang ditunggu oleh dua orang penjaga. Untuk masuk ke Goa Gong ini setiap orang dikenakan biaya Rp.5000,- ditambah dengan biaya parkir. Di sebelah kiri loket terdapat anak tangga sejauh kurang lebih 150 m yang akan mengantarkan kita ke mulut goa. Kurang lebih di kawasan anak tangga ke-100, di sepanjang jalan menuju goa berjajar kios-kios pedagang akik, makanan, dan macam-macam souvenir khas Pacitan, seperti sale pisang, gula jawa, jenang, akik dll. Setelah melewati kawasan semacam pasar wisata ini, kami disambut dengan dua arca pentung sebagai tanda bahwa mulut goa semakin dekat. Mulai dari titik inilah akan banyak ditemui penduduk yang menawarkan jasa rental senter (Rp.5000,- per senter), buku sejarah goa gong, dan jasa pemandu wisata.

Hihihi Sang dengan semangat menaklukkan anak tangga sampai di depan mulut Goa tanpa  gendong siapapun. Eng ing eng,,,tapi belum sampai 100 meter masuk ke goa, Sang gak berani meneruskan langkah menjelajahi goa karena takut. Akhirnya emak dan bapaknya ini mengalah tidak ikut menjelajah goa, tapi hanya menunggu para Om menjelajah goa di depan mulut Goa Gong.

Sekelumit tentang Goa Gong;

Memasuki goa, kita akan disuguhi pemandangan yang gelap nan menakjubkan. Untuk menyusuri Goa Gong telah disediakan jalan yang telah disemen dan terdapat pegangan besi sehingga mencegah pengunjung terpeleset. Selain itu juga terdapat lampu penerangan dan juga kipas angin raksasa (istilahnya Sang hehe). Semakin ke dalam kita akan disuguhi eksotisme stalaktit dan stalagmit yang berkilau terkena sorot lampu. Stalaktit dan stalagmit ini masing-masing punya nama, misalnya Selo Adi Citro, Selo Susuh Angin, dll. Oiya, Goa Gong ini juga dibagi menjadi beberapa ruang yang diberi nama sesuai cerita yang melatarbelakanginya. Misalnya Ruang Bidadari yang konon kabarnya karena sering terlihat bayangan wanita cantik. Selain itu juga terdapat beberapa sendang yang konon katanya juga memiliki kekuatan magis bagi yang mempercayainya.

Oiya, karena kami berkunjung ke Goa Gong pada saat puasa maka tidak banyak pedagang yang berjualan hanya beberapa kios yang membuka lapak mereka. Sisi enaknya adalah ketika di dalam Goa Gong tidak banyak pengunjung sehingga kita bias leluasa menikmati indahnya kilauan stalaktit dan stalagmite tanpa harus berdesakan dan merasakan hawa panas.

Cerita Mudik : Malang-Madiun-Pacitan

Huwaaaa,,terlena dengan aroma libur lebaran sampai-sampai baru nyadar kalo agustus sudah mau pergi aja. Cerita di bulan agustus adalah cerita tentang mudik, lebaran, jalan-jalan, dan makan-makan.

Mudik Part I : Menghitung jumlah rel kereta api (Madiun Kota Brem)

Akhirnya mudik juga,,setelah kurang lebih 6 bulan tidak menampakkan diri di rumah Kung dan Uti Madiun. Barang bawaan tentu saja membludak  karena Sang sudah tidak berdiapers lagi sementara toilet training-nya belum sepenuhnya lancar dan satu tas besar penuh itu hanya berisi baju-baju Sang sebagai amunisinya.

Kami membutuhkan kira-kira 6 jam perjalanan santai untuk sampai di Kota Brem. Melewati jalur  Malang-Blitar-Kediri-Nganjuk dan akhirnya Madiun.  Setengah perjalanan kami lalui dengan aman karena Sang tidur dengan lelapnya di pangkuan emaknya ini dan baru bangun saat memasuki kabupaten Kediri. Hihihi dan bisa dipastikan perjalanan setelah Sang bangun adalah perjalanan yang mengkhawatirkan karena Sang adalah anak yang tidak suka berlama-lama di dalam mobil. Alhasil emak dan bapaknya ini sibuk mengalihkan perhatian Sang agar tidak teriak-teriak minta turun dari mobil. Mulai dari nyemil, main mobil-mobilan, drama mengejar truck dan bis, nyanyi-nyanyi sampai ngitungin rel kereta api pun kami lakoni.

Mudik Part II : Mudik yang sebenarnya (Pacitan Kota 1001 Goa)

Inilah mudik yang sebenarnya. Walaupun tinggal dan besar di Madiun,tempat kelahiranku adalah di Pacitan, tepatnya di Desa Sidomulyo atau lebih terkenal dengan sebutan Gayam. Tahun ini adalah tahun kedua mudik ke Pacitan dengan Sang, yang membedakan adalah mudik kali ini kami lakukan sebelum lebaran tiba. Perjalanan dari rumah Madiun dimulai selepas adzan dhuhur dengan harapan sampai di Pacitan ketika adzan maghrib tiba. Sepanjang perjalanan dihinggapi rasa was-was, semoga Sang tidak mabuk darat.

Memasuki Desa Slahung-Kab. Ponorogo jalan yang meliuk-liuk eksotis mulai kami rasakan. Jalan berkelok  dengan tanjakan dan turunan yang tiada henti, bebatuan alam di kanan jalan dan jurang di kiri jalan, serta lagu Ebiet G Ade  menambah syahdu perjalanan ini. Hihihi jadi teringat masa kecil dulu, aku selalu menjadi langganan mabuk darat kalo mudik ke Pacitan. Kalo sudah mulai masuk Slahung, ibuku selalu siap-siap tas kresek hitam, minyak, serta koyo buat ditempel di perut. Banyak perubahan yang terjadi di sepanjang perjalanan menuju tempat kelahiranku. Dulu aku ingat setiap di belokan aku selalu was-was bis yang aku tumpangi bertabrakan dengan kendaraan lain karena memang jalur yang ada sempit dan masih jarang pembatas di pinggir jurang. Beberapa kali bis yang aku tumpangi hampir mencium truck ataupun bis lain. Dan sekarang,,,wwwoooooowww  jalannya lebar dan muluuusss hehe Kami sampai di Pacitan tepat pukul  17.00.

Mumpung di Pacitan kami berniat buka puasa di Warung Makan Bu Gandhos di Tamperan. Warung makan yang mempunyai moto yang sama dengan Soimah di salah satu TV swasta Jos gandhos kotos-kotos ini terletak di jalur yang menghubungkan Pacitan dengan Solo yang melewati Pantai Teleng Ria. Jika kita beruntung mendapatkan tempat di bagian lesehan, kita tidak hanya menikmati makanan enak tetapi juga bonus pemandangan pantai. Cara pesan menu di sini tergolong pun unik. Jika biasanya kita disodori kertas untuk menulis menu yang diinginkan kalau di warung Bu Gandhos ini semua menu yang ada di warung disajikan ke pengunjung, dan di meja pengunjung  barulah pengunjung memilih menu apa yang di ambil dan yang tidak. Gak ribet dan gak antri lama dan yang penting bisa langsung makan.  Kami memilih nasi putih, nasi thiwul, ikan bakar, lalapan, ikan goreng, sayur ikan pedes, dan es degan.  Untuk enam porsi kami hanya menghabiskan anggaran Rp.110.000,-. Hihihi kategori nyaman di kantong dan nyaman di perut. Setelah selesai buka puasa, barulah kami menuju Gayam tercinta dan semangkok bakso khas Gayam sudah menunggu.

pelebaran jalan sepanjang ponorogo-pacitan

di warung makan bu gandhos,, nungguin buka puasa

menu di bu gandhos

view pantai dari warung makan