Senin, 12 Desember 2011

Di dua pagi yang berbeda

Pagi pertama…
Wanita itu : Mbak,,kalau butuh tenaga buat nyuci, saya   bisa..
Saya       : Waduh maaf mbak, sudah ada..
Dialog di pagi hari dengan seorang wanita bertubuh mungil yang tengah menggendong anaknya yang berumur sekitar 3 bulan)

Pagi kedua…
Wanita itu : Mbak maaf, saya mau jual ini, buat makan anak saya
(sambil menyerahkan bungkusan dalam tas plastik hitam)
Tanpa banyak tanya saya membuka bungkusan yang ternyata isinya adalah beras
Saya       : Tunggu sebentar mbak ya,,

Saya ingat, wanita ini adalah yang sama di dua pagiku…wanita yang selalu tersenyum, yang tidak pernah punya rasa malu untuk mencarikan sesuap nasi untuk anak dalam gendongannya…Wanita yang mengajarkanku untuk lebih menghargai hidup.

“Para ibu selalu mempunyai tempat untuk menampung duka, lalu mengecupnya dan bangkit.”
Helvy Tiana Rosa, Tanah Perempuan

Sabtu, 10 Desember 2011

Nasi Goreng: Beda Koki Beda Rasa


 “Jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan”
― Joko Pinurbo, Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung



“dua minggu lagi ya?”
“iya,,di sini masih ada kegiatan, belum bisa ditinggal”
“Ooo,,semangat ya…”

Dialog itu seakan menjadi  sebuah kewajiban  untuk kami  di setiap akhir pekan beberapa bulan terakhir ini.  Selalu berulang di setiap akhir pekan. Sebuah konsekuensi dari suami istri jarak jauh. Saya berada di sebuah kabupaten di rumah orang tua saya di ranah mataraman, sedangkan suami saya di tempat mencari nafkah di ranah tapal kuda. Jauh,,,bahkan sangat jauh, menurut saya,  jika dilihat dari jarak yang harus ditempuh untuk kami saling bertemu,,,10 jam perjalanan dan melewati 8 kabupaten.

Sesuai dengan hukum alam, ada yang datang dan ada yang pergi. Sudah terbayang beberapa rutinitas saya yang akan hilang ketika berjarak dengan suami dan mulai membiasakan dengan rutinitas yang baru. Sederhana, saya hanya akan merindukan momen-momen saat  ke pasar di mana penjualnya mayoritas berbahasa Madura yang kadang saya tidak paham apa yang dibicarakan dan membuat saya tiba-tiba menjadi sangat bersyukur dengan adanya Bahasa Indonesia , meracik sambal terasi yang super pedas untuk suami saya, menunggu suami pulang kerja sambil mendengarkan gending banyuwangi  dan mencoba mereka-reka apa maksud gending tersebut, duduk di sofa abu-abu bersama secangkir kopi dan keluh kesah suami saya,  terbengong-bengong mendengar tetangga ngobrol dengan bahasa dan aksen maduranya atau ngobrol ngalor ngidul main gitar genjrang genjreng dengan sahabat kami. Sederhana tetapi saya begitu menikmatinya. 

Pikiran saya mengembara, apa saja yang akan saya lakukan ketika berjarak dengan suami dan apa kami mampu untuk berjarak. Sebuah ketakutan dan kekhawatiran yang tiba-tiba datang tanpa saya inginkan.

Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat yang baru saja mengakhiri masa lajangnya dan secara kebetulan sahabat saya ini juga ‘setengah terjebak’ dengan jarak. Dia, yang seorang PNS di sebuah kabupaten, memiliki suami yang bekerja di sebuah bank di kabupaten lain. Tantangan yang harus ditaklukkan oleh sepasang pengantin baru, di mana mereka akan menetap dan bagaimana mengakali jarak ini. Suaminya menawarkan diri untuk menetap di domisili istrinya dan rela untuk pulang pergi ke tempat kerjanya. Ada dua jam perjalanan yang harus dilalui sang suami setiap harinya jika opsi ini diambil. Belum lagi setumpuk penat dan lelah beban pekerjaan.  Sedangkan sang istri, teman saya ini, menawarkan untuk berjarak dan baru bertemu di akhir pekan. Teman saya ini tidak ingin melihat suaminya terlalu lelah jika harus bolak-balik antara rumah dan tempat kerja. Sebuah alasan yang rasional. 

Berbeda dengan kondisi saya. Setelah mempertimbangkan banyak hal, ternyata mereka memilih opsi pertama, di mana suami harus menghabiskan sebagian harinya di jalan menuju tempat kerjanya. Saya, yang lebih dulu mencicipi konsekuensi dari jarak, hanya bisa membesarkan hati teman saya yang masih setengah hati dengan keputusan yang mereka ambil.  Menyarankannya untuk membayangkan bagaimana sumpeknya suami ketika capek pulang kerja masih harus menyiapkan makanan sendiri, bagaimana sumpeknya suami ketika kerjaan di kantor menumpuk dan ketika pulang tidak ada istrinya untuk mendengarkan keluh kesah, dan bagaimana senangnya suami ketika lelahnya disambut dengan senyum hangat istrinya. Sebuah pancingan sederhana untuk menjelaskan kesediaan suaminya untuk berdamai dengan jarak.

Pilihan yang saya dan suami saya ambil ataupun dengan pilihan teman saya sama-sama memiliki konsekuensi masing-masing. Seolah-olah kami sama-sama sedang memasak nasi goreng. Banyak sedikitnya cabe, macam bumbu dan bahan yang kami pakai, besar kecil api yang digunakan, mempengaruhi rasa nasi goreng yang kami hasilkan. Dan bagaimanapun rasa nasi goreng yang dihasilkan, kami sama-sama menikmatinya.
Dan saya ucapkan selamat datang kepada rutinitas baru saya sebagai konsekuensi suami istri jarak jauh, yang sama sekali tidak berhak disambut dengan sebuah  banner berisi keluhan ataupun untaian air mata. Kami hanya berusaha bagaimana membuat jarak tidak mengurangi legitnya brownies kebahagiaan yang kami rasakan, tidak mengurangi deburan rindu yang menggebu, dan tidak mengurangi suntikan motivasi satu sama lain. 

Sekarang, saat tulisan ini saya buat, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada kondisi kami yang berjarak. Dengan adanya jarak, kami sekarang menjadi sepasang manusia yang lebih ‘matang’, lebih tahu bahwa kami saling melengkapi, lebih tahu apa yang kami butuhkan, lebih menghargai kebersamaan, lebih menghargai sesuatu yang bernama komunikasi, dan lebih lebih yang lain yang tidak kami dapatkan ketika kami tidak berjarak. 

Akhir pekan kedua di bulan desember ‘segala sesuatu tergantung bagaimana kita memberi rasa’.

Senin, 14 November 2011

wanita itu...


...wanita yang dicintai pria adalah wanita yang menjadikannya mampu mencapai impian-impian tertingginya dan membuatnya merasa bebas untuk menjadi selemah-lemahnya pria di dalam pelukannya...

Minggu, 06 November 2011

Mbak Sini, Sholat Ied, dan Kebahagiaan


People don't notice whether it's winter or summer when they're happy. 
~Anton Chekhov

Pagi ini, di saat sebagian orang bergembira dan berduyun-duyun menjemput Iedul Adha, wanita itu dengan tersenyum menyapaku sambil menenteng ember di tangan kirinya dan menggandeng seorang anak kecil dekil di tangan yang lain. Wanita itu adalah tetanggaku, aku biasa menyapanya dengan Mbak Sini. Seperti dugaanku, Mbak Sini tidak pergi ke masjid, Mbak Sini tidak memakai mukena putihnya, Mbak Sini tidak sholat Ied.

Masih lekat dalam ingatanku, Iedul Fitri kemarin, tetanggaku itu dengan senyum cerahnya memakai mukena putihnya dan menggandeng anak kelimanya menuju ke masjid untuk solat Ied pertamanya semenjak dia menikah. Dia bercerita kalau ini solat Ied pertamanya, suaminya tidak pernah mengijinkan untuk sejenak merasakan semangat hari raya seperti tetangganya yang lain. Suaminya lebih suka kalau istrinya itu membuka warung kecilnya, membuat kopi dan gorengan untuk dijual, dan menghasilkan sedikit uang untuk modal suaminya berjudi. Iedul Fitri tahun ini, suaminya ada di penjara gara-gara judi.

Sebulan yang lalu, menjelang Iedul Adha, suaminya bebas dari penjara. Bukan bahagia menyambut suaminya, Mbak Sini malah mengeluh dan menangis, hidupku lebih damai tanpa suami, walaupun harus bekerja keras untuk menghidupi lima anakku, aku kadang gak kuat mbak terus-terusan banting tulang sementara suamiku kerjanya hanya marah-marah, main perintah seenaknya, menghamburkan uang. Aku lebih senang hidup dengan anak-anakku saja.

Wanita itu, tetanggaku, yang aku panggil Mbak Sini, setidaknya pernah merasakan apa yang dia sebut sebagai kebahagiaan, walau hanya sekejap. Baginya hidup tanpa tekanan itulah kebahagiaan.


Minggu, 28 Agustus 2011

potret keluarga masa kini?

Tanpa sengaja nemuin tulisan ini,,,merasa punya kewajiban moral  buat membagikan,,,disertai harapan,,,
semoga dunia maya dan gadgets yang semakin canggih tidak sampai membuat kita lupa akan kehidupan yang real… Semoga masih ada kehangatan yang sesungguhnya dalam diri kita, kehangatan yang tulus bagi keluarga dan sesama..

Terdengar suara mobil memasuki area parkir rumah bernuansa alam itu, dan beberapa detik kemudian terdengar suara pintunya terbuka dan tertutup.
Nampaknya si Ayah baru saja pulang dari aktifitas hariannya di kantor. Dengan tas laptop di tangan kiri dan kunci mobil di tangan kanannya, si Ayah disambut dengan sangat biasa oleh si Ibu –yang sedang menyiapkan makan malam buat si Ayah. Nampaknya si Ibu bersama si Anak sudah makan malam terlebih dahulu, terlihat dari wajah mereka yang tidak terlihat lapar sama sekali. 
Si Anak ada di mana? Si Anak sedang ada di dalam kamarnya, bermain bersama dirinya sendiri..
Oh iya, ada satu detil yang terlupa diceritakan di atas.. 
Berikut detilnya..
> Di mobil tadi, sebelum mematikan mesin mobilnya, Si Ayah menulis status di facebook dan Twitternya: “Gila, jalanan macet banget! Mau jadi apa ini kota Jakarta!”

> Di dapur tadi, sebelum menyapa Si Ayah, Si Ibu sibuk memasak makan malam dengan sebuah gadget di tangan kirinya sambil menulis di Twitternya: “Malam ini ayam goreng sama lalapan buat Si Ayah, jam segini baru sampe dia”

> Di kamar tadi, si Anak sedang bermain NDS nya dan tentunya sebelum itu dia menulis di Twitternya: “PR baru selesai, saatnya refreshing balapan Mario Kart di NDS akuh”

Bisa ditebak bagaimana kelanjutan aktifitas di rumah yang “hangat” tersebut pada malam yang biasa itu?
Ya.. Masing-masing sibuk dengan “dunia dalam genggaman”nya sendiri. Dengan teman-temannya sendiri. Dengan “kehidupan”nya sendiri.
Tiada keakraban dalam makan malam bersama. Tiada “hari ini di sekolah ada yang seru Nak?” Atau “Bu, tadi Ayah di kantor dapet hadiah lomba karaoke lho…” Atau “Yah, tadi Ibu beli pot bunga baru biar taman kita makin berwarna”

Potret keluarga masa kini?
Ayo semua kita sadari dan ubah. Tidak perlu saling menunjuk, menyalahkan siapa-siapa. Yang perlu kita lakukan, sadari bahwa keluarga sangat memerlukan kehangatan yang nyata. Komunikasi renyah. Pelukan hangat. Senyuman manis. Saling bertukar cerita.
Letakkan “dunia dalam genggaman” kita itu sejenak Sobat. Dan genggam dunia yang paling berharga dalam rumah kita, keluarga kita sendiri.
Ingat.. Dalam kerja, utamakan kualitas. Dalam keluarga, utamakan kuantitas. Karena dalam kuantitas bersama keluarga, akan terbentuk kualitas yang seutuhnya.

 *tulisan aslinya bisa dibaca di sini http://motivatweet.wordpress.com 

Jumat, 05 Agustus 2011

apa yang kurang dariku???















Di ruang tunggu sebuah klinik bersalin.  

Hari ini jadwal konsultasi pertamaku dengan dokter susanti, spesialis kandungan di kota madiun. Saat aku datang sudah ada empat orang yang mengantri. Aku duduk di bangku deret ketiga bersama seorang ibu muda yang kuperkirakan kandungannya sudah memasuki trimester ketiga. Setengah jam berlalu, semua kursi terpenuhi dan aku belum juga  mendapat giliran konsultasi.
Lamat-lamat kudengar percakapan di kursi deretan pertama. Setelah kuamati ternyata dua orang ibu muda yang tengah mengobrol. Satu berbaju putih satunya lagi berbaju ungu. Ibu muda berbaju ungu bercerita bahwa dia baru saja mengalami pendarahan. Usia kandungannya sudah 8 bulan. Ekspresi kaget ditunjukkan oleh ibu berbaju putih. Kenapa???aku tidak tau. 
Percakapan keduanya semakin membuatku tertarik. Sang ibu muda meneruskan ceritanya sambil terisak. Suaminya sedang berada di Surabaya, sementara orang tuanya di Bojonegoro. Di usia kandungannya yang sudah 8 bulan, perutnya sama sekali belum tampak membesar. Kata dokter, berat janinnya belum ada 1 kg.
Rupanya ibu muda berbaju ungu sudah tidak sabar menanti gilirannya. Dia memutuskan untuk pulang. Dengan berjalan agak terseret, dia menuju ke resepsionis untuk berpamitan dengan suster penjaga. Tak lama kemudian dia berpamitan dengan ibu berbaju putih sambil mengeluarkan kunci sepeda motornya. Dan akhirnya dia pulang.
Aku terdiam dan baru menyadari kenapa ibu berbaju putih tadi sempat menunjukkan ekspresi kagetnya. Usia kandungannya sudah 8 bulan, berat janinnya belum ada 1 kg, mengalami pendaharahan dan tak ada satupun keluarga yang mengantarnya ke klinik bersalin, dan dengan kondisi seperti itu masih harus memacu sepeda motornya sendirian, malam hari pula.
Hmmm,,membuatku berpikir dan merenung,,,aku masih jauh lebih beruntung dari ibu berbaju ungu itu. Di usia kandunganku yang juga berusia 8 bulan, aku dan calon anakku dalam kondisi baik-baik saja. Bidan ataupun dokter juga mengatakan kondisi janinku sehat. Aku juga tidak pernah mengalami keluhan yang aneh-aneh. Semuanya berjalan dengan mudah, menurutku.
Suamiku juga selalu menemaniku konsultasi ke bidan atau dokter. Selalu diluangkannya waktu buat memperhatikan aku dan calon anak kami. Sama sekali tidak pernah dibiarkannya aku pergi sendirian. Sama sekali tidak pernah diijinkan aku untuk capek sedikitpun. Selalu menenangkan dan membesarkan hatiku. Selalu mencarikan apapun yang aku mau.  Keluarga kami juga begitu. Sama sekali tidak pernah lepas sedikitpun untuk memperhatikan kondisiku.
Jadi apalagi yang kurang???rasanya perdebatan kecil soal sakit punggung yang kurasa, siapa nama anak kami, kapan dia lahir, perlengkapan apa saja yang perlu dibeli, mau lahiran di mana,  dll menjadi tidak begitu menarik lagi untuk diperdebatkan bagiku. Melihat kondisi kehamilanku sekarang membuatku berpikir,,,aku termasuk beruntung,,,. Kondisi ibu muda berbaju ungu bukan hanya untuk dikasihani tetapi menjadi pembelajaran bagiku bahwa aku harus selalu bersyukur dengan apa yang aku punya. Mengeluh bukanlah hal penting, karena aku memiliki apa yang orang lain belum tentu memilikinya. Tuhan memberi yang terbaik untukku. 


*terima kasih untuk suamiku tercinta & keluargaku di malang, madiun, sidoarjo dan bondowoso…


Rabu, 03 Agustus 2011

rise and shine...













sang fajar adalah cahaya kami
cahaya sepasang manusia yang berlayar bersama
mengarungi lautan misteri yang kami sebut sebagai keluarga
berusaha menggapai sebuah visi bernama kebahagiaan

yaaa,,,kami sedang menanti hadirnya sang fajar di perahu kami...